Skip to main content

Bearing Capacity untuk Pondasi

Biasanya chart kapasitas daya dukung vs kedalaman dibuat untuk pondasi dalam (tiang) untuk mendapatkan estimasi panjang tiang dari sisi kebutuhan axial capacity. Hal lain juga diperoleh dari chart ini, didapatkan gambaran kira2 pondasi tiang kita akan berada pada lapisan tanah yg bagaimana.

Untuk kurva pressure vs settlement, memang akan sangat mudah sekali dilakukan dengan FE. dibuatkan increasing load (misal 5, 10, 15 20 ton,...) vs penurunan pada masing2 beban tersebut. Untuk pressure tentunya bisa dihitung dari beban yg bekerja sesuai dengan dimensi dari dasar pondasi tersebut. Dari kurva ini, kemudian diperoleh daya dukung pada penurunan yg diizinkan. Bisa juga dilakukan perhitungan manual (hand-calculation) untuk mendapatkan besarnya beban yg bekerja. tentunya akan ada usaha extra yg harus dikerjakan, terutama bila lapisan tanahnya cenderung variatif dan struktur yg bekerja juga bukan simple structure.

Keuntungan lain dari metode ini, adalah memberi masukan buat struktur engineer dalam menentukan kekakuan pondasi bangunan yg sedang dianalysis. Karena umumnya, software analisis struktur memerlukan input berapa kekakuan pondasi sebagai pemodelan interaksi tanah-pondasi. Dengan adanya kurva pressure vs kedalaman ini, akan memudahkan struktur engineer "bermain" pada range kekakuan yg akan dimodelkan.

Saat ini ada beberapa software yg sudah bisa memodelkan analisis tanah-struktur sekaligus. Saya pernah mencoba dengan PLAXIS (baik 2D dan 3D). Ada juga saya lihat di internet Open-Sees, atau yg saat ini juga sangat populer adalah FLAC (kalau yg ini Kang Hendra punya pengalaman yg sangat baik).



Pembahasan - kang hendra hjitno


Rekan2 ysh,

Minggu kemarin saya diminta oleh salah seorang strutural enginer di kantor saya utk menghitung bearing capacity utk salah satu pondasi jembatan di salah satu proyeknya. Hitungannya simple dan mudah, yg sering jadi masalah adalah kurangnya pengertian antara perbedaan ultimate dan allowable bearing capacity. Waktu saya baru lulus, faktor keamanan 3 adalah magic number yg selalu saya pakai, walaupun enggak mengerti alasan sebenarnya mengapa kita harus pakai angka 3. Kelihatannya, pemahaman itu juga masih dipunyai rekan saya sang senior structural engineer tea..

Utk memberi gambaran yg lebih komplit kpdnya, saya sengaja menghitung daya dukungnya dengan finite element, yg memodelkan pillar, lebar pondasi dan lapisan tanah dibawahnya..Saya berikan hasil daya dukungnya berupa plot antara pressure dan penurunan pondasi. Dengan plot itu dengan mudah saya menerangkan berapa daya dukung yang bisa di pakai.

Sebetulnya, selain kapasitas, ada lagi lagi kriteria lain yang harus kita penuhi. Faktor ini adalah penurunan yg terjadi pada saat strutur menerima working load. Kriteria ini sering kita lupakan kalau struktur yg kita bangun tidak begitu sensitif thd penurunan. Tapi utk struktur2 yg sensitif thd
penurunan (baik jangka pendek atau jangka panjang), seringkali krietria penurunan menjadi hal yg menentukan.
Di salah satu proyek pelabuhan yg pernah kami tangani, lapisan pasir di permukaan mempunyai bearing capacity yg cukup tinggi. Tapi setelah kami hitung pola penurunan jangka pendek dan panjangnya, diperkirakan akan terjadi perbedaan penurunan yg cukup besar antara daerah yg satu dengan yg lain dikarenakan lapisan tanah lempung lunak di bawah lapisan pasir tdk sama tebalnya. Sebagai hasilnya kita memberi rekomendasi bearing capacity tanah berdasarkan beda penurunan maksimum yg bisa ditahan oleh struktur.

Ultimate bearing capacity (daya dukung ultimit) mempunyai arti kemampuan daya dukung tanah sampai tanahnya runtuh atau mengalami deformasi yg relatif besar. Regangan/deformasi yg dibutuhkan tidak sama utk setiap macam tanah.
Utk tanah pasir padat, deformasi yg dibutuhkan lebih kecil dari deformasi yg dibutuhkan utk pasir lepas. Begitu pula utk tanah lempung. Tanah lempung yg kuat dan kaku, cenderung mempunyai regangan puncak (peak failure) lebih kecil dari tanah lempung lunak. Faktor keamanan 3 biasanya memadai utk dipakai.
Utk tanah lunak, ceritanya bisa lain lagi. Karena deformasi yg dibutuhkan utk mencapai daya dukung ultimit bisa besar dan mencapai 10% atau lebih, daya dukung ijinnya umumnya tergantung dari berapa penurunan yg bisa ditolerir oleh superstruktur. Faktor kemananan yg dibutuhkan bisa lebih besar dari 3, kalau tidak pada jangka panjang dinding gedungnya akan retak2..
Misalnya dalam contoh yg saya sebut di atas. Daya dukung pondasi gedung tergantung dari beda penurunan yg bisa ditolerir oleh struktur.

Logika yang sama berlaku utk pondasi dangkal dan dalam..
Mudah-mudahan bermanfaat.



Tanggapan 1 - Ary Tb

KOPAS==>  "Saya berikan hasil daya dukungnya berupa plot antara pressure dan  penurunan pondasi. Dengan plot itu dengan mudah saya menerangkan berapa daya dukung yang bisa di pakai."
boss mohon ilmu lebih dalam mengenai ini... biasanya yang saya dapatkan berupa kapasitas tanah vs kedalaman, ga di singgung masalah penurunan pondasi jangka panjang maupun pendek.


Tanggapan 2 - Aleksander Poerba


Boss Ary dan rekans lainnya,
Urun rembug menyampaikan pendapat sebelum nantinya di tuntaskan oleh "ahlinya"... :-)

Biasanya chart kapasitas daya dukung vs kedalaman dibuat untuk pondasi dalam (tiang) untuk mendapatkan estimasi panjang tiang dari sisi kebutuhan axial capacity. Hal lain juga diperoleh dari chart ini, didapatkan gambaran kira2 pondasi tiang kita akan berada pada lapisan tanah yg bagaimana.

Untuk kurva pressure vs settlement, memang akan sangat mudah sekali dilakukan dengan FE. dibuatkan increasing load (misal 5, 10, 15 20 ton,...) vs penurunan pada masing2 beban tersebut. Untuk pressure tentunya bisa dihitung dari beban yg bekerja sesuai dengan dimensi dari dasar pondasi tersebut. Dari kurva ini, kemudian diperoleh daya dukung pada penurunan yg diizinkan. Bisa juga dilakukan perhitungan manual (hand-calculation) untuk mendapatkan besarnya beban yg bekerja. tentunya akan ada usaha extra yg harus dikerjakan, terutama bila lapisan tanahnya cenderung variatif dan struktur yg bekerja juga bukan simple structure.

Keuntungan lain dari metode ini, adalah memberi masukan buat struktur engineer dalam menentukan kekakuan pondasi bangunan yg sedang dianalysis. Karena umumnya, software analisis struktur memerlukan input berapa kekakuan pondasi sebagai pemodelan interaksi tanah-pondasi. Dengan adanya kurva pressure vs kedalaman ini, akan memudahkan struktur engineer "bermain" pada range kekakuan yg akan dimodelkan.

Saat ini ada beberapa software yg sudah bisa memodelkan analisis tanah-struktur sekaligus. Saya pernah mencoba dengan PLAXIS (baik 2D dan 3D). Ada juga saya lihat di internet Open-Sees, atau yg saat ini juga sangat populer adalah FLAC (kalau yg ini Kang Hendra punya pengalaman yg sangat baik).

Mungkin begitu yg bisa sy sharing... tentunya rekans sekalian saya yakin punya pengalaman dan pengetahuan yg lebih banyak lagi... mari dilengkapi pendapat dan meramaikan diskusi ini... :-).




Tanggapan 3 - Irendra RADJAWALI kuyasipil


Bos Hendra yang baik,

Jadi inget kuliah di geoteknik dulu bos, terimakasih ilmunya. Inget  juga waktu saya coba pakai logika berhitung finite element untuk  berhitung kompleksitas kota (di planologi) untuk tahu titik-titik  beban sosial-ekonomi-ekologi di kota, dan saya mau modelkan, yang  kemudian mengantar saya ke ranah complexity (cellular automata dan  agent-based) saat ini. Sayang di planologi saat itu tidak ada yang  membimbing.


Tanggapan 4 - "Dradjat Hoedajanto"


Rekan Kuya/Kuyi semua Ysh,

Saya ingin nambah catatan, untuk kita semua, untuk menggaris bawahi fakta yang sering kita lupakan, yaitu keterbatasan kita, baik sebagai manusia, apalagi sebagai enjinir sipil. Kasus yang di kedepankan ini memang menarik untuk dibahas secara konseptual karena masalahnya sekaligus mencakup masalah mikro dan makro. Kalau mau cari contoh tentang perlunya kerja sama yang baik, ya inilah salah satu topic yang baik untuk dikaji dan dicerna bersama.

Teknik Pondasi tidak jarang mengundang polemic, khususnya bagi kita-kita praktisi dan ahli, yaitu domain siapa sih sesungguhnya dia?

Ada yang ngotot bilang itu domain geoteknik, ada yang ngotot itu domain struktur.

Hehehe, ya tergantung otot siapa yang lebih kenceng jadinya, hahaha. But guys, ini cuma selingan biar ga tegang.

Honestly, neither has the sole domain of Foundation Technology/Engineering.

Untuk memahami dan kemudian mendisain pondasi yang berfungsi dengan baik, mau dangkal mau dalam, perlu kerja sama yang baik antara keduanya, dan yang namanya kerja sama itu bukan hanya one-way. Harus two ways, dan bukan hanya satu cycle.

Soil-Structure interaction tidak pernah mudah dan tidak pernah sederhana, regardless teori dan software apapun yang digunakan hingga saat ini. At best yang bisa dihasilkan hanyalah "pendekatan" atas solusi yang "diasumsikan" paling sesuai dengan target performance yang diharapkan.

Salah satu indikasi dari "masih relative gelap"nya bidang ini adalah informasi tentang lowongan s-3 yang kemarin di post kan oleh Kuya Rikrik, tentang studi di Delt University.

Masalahnya ya memang complex, baik struktur dan apalagi geoteknik, kalau bicara masalah behavior material yang non-elastis maka lahirlah macam macam teori dan pendekatan, yang at best masih merupakan pendekatan. Apa lagi kalau unsur sifat beban sudah mulai masuk, khususnya beban gempa.

Menyambung apa yang sudah disampaikan oleh Kuya Hendra, tentang bearing capacity dengan berbagai approach yang "lengkap", maka ada beberapa hal lagi yang perlu diingat, yaitu:

1. Seberapa akurat data tanah yang digunakan (asumsi didapat dari hasil penyelidikan tanah). Implikasi langsung dari masalah ini, khsususnya untuk Indonesia, adalah seberapa professional institusi yang melakukan penyelidikan tanah tersebut. Umumnya bos-bos ahlinya duduknya di kantor, ber ac, sedang yang melakukan testnya dan melaporkan pendataan lapangannya, mungkin hanya pakai kolor, di lapangan, bersimbah peluh kepanasan, dan mungkin kalau tidak punya kesabaran atau tidak ngerti (maklum gaji kecil) ya melakukan improvisasi di bawah pohon.

2. Seberapa yakin bahwa jumlah test yang ada cukup representative terhadap kondisi tanah lokasi bangunan. Kita tahu bersama bahwa tidak ada "hukum" pasti yang full proof tiap berapa meter harus ada test agar hasilnya representative. Belum lagi kalau ketemu owner pelit yang maunya testnya sekecil atau sesedikit mungkin (biasa deh kalau urusan sama sipil), padahal dia "buang uang" seperti keran bocor waktu arsitek dan interior menyampaikan usulan pakai marmer itali dsbnya.

3. At best rekomendasi dari ahli geoteknik tentang bearing capacity suatu "wilayah" adalah berdasarkan data2 tadi, sehingga umumnya untuk "menambah" credibility, seorang geotek yang pengalaman akan selalu mencari tahu dan mencatat, dan mengupdate info tentang pondasi dari lingkungan yang bersebelahan. Apalagi kalau sampai kasusnya kena hal-hal yang istimewa misalnya adanya negative skin friction, atau bahkan ada jenis tanah yang expansive, pondasi dalam tipe drilled, musim hujan, wah wah wah, tambah banyak yang harus dihitung dan diperhatikan, yaitu method of
constructions, yang juga harus direncanakan dengan seksama dan aman, karena akan mempengaruhi keputusan berapa safety factor yang seyogyanya harus diambil.

4. Nah kalau di atas baru "nyenggol" geoteknik, sekarang masuk struktur. KHususnya untuk Indonesia, yang banyak tanah lunaknya dan adanya factor gempa yang harus diperhitungkan. Kalau tadi Kuya Hendra cerita tentang bearing capacity dari sisi geoteknik, struktur harus mikir, apa dampak info tadi terhadap capacity dari elemen struktur pondasinya. Kalau pondasi dalam, tanah lunak (N SPT < 5) lebih dari 20 m, kondisi gempa,
ehm, masalah jadi numpuk. Capacity dari pile tidak bisa diambil hanya menggunakan "daftar" capacity yang didapat dari supplier driven piles yang umumnya didasarkan pada asumsi kolom pendek. Yang untuk kasus slender column, penurunan capacitynya bisa cukup signifikan, tergantung antara lain pada berapa besar "lateral deformation" dari pile cap yang bisa terjadi.

5. Kalau ditambahkan masalah kemungkinan terjadinya sendi plastis di elemen tiang pondasi karena besarnya lateral deformation akibat "dalamnya" tanah lunak tadi dan akibat gempa, maka pusingnya bisa nambah kalau target design adalah mencegah terjadinya kerusakan / sendi plastis di elemen tiang
pondasi yang ada jauh di dalam tanah. Mulai dikenalnya konsep Performance Based Design secara langsung menambah "kerjaan" kita para enjinir karena harus mencoba "menterjemahkan" fakta dan kemungkinan tadi pada para pihak terkait (tidak jarang non-enjinir) dan bersama mengambil keputusan untuk menentukan target design yang disepakati.

6. Factor different settlement yang disampaikan oleh Kuya Hendra bisa makin nambah pusing ahli struktur yang terlibat, khususnya kalau ketemu dengan owner atau arsitek yang bilang "untuk apa punya base slab atau pile cap, atau lingk beams yang gitu gede, kan di tanah gak ada beban apa apa".
Atau yang punya idea karena pernah baca atau dengar, konsep pile-raft interaction, yang katanya bisa dianalisis dengan akurat, yang kenyataanya semuanya merupakan pendekatan dan ujungnya tergantung dari performance system pondasi secara keseluruhan. Saya pernah berdiskusi dengan senior enjinir tokoh dunia tentang hasil studi instrumentasi actual yang dipasang di gedung bertingkat di Jepang untuk membuktikan kebenaran teori pile-raft interaction yang mereka ajukan, yang ternyata menunjukkan hasil bahwa raftnya praktis tidak bekerja. Ya tentunya itu tidak lepas dari pertimbangan "mungkin itu benar untuk kasus itu saja". No body can definitely say yes or no utk hal tersebut.

7. Yang ahirnya sampai pada cerita yang ingin saya sampaikan berikut.
Yaitu saat saya kuliah analisa struktur dari Prof. Soemono almarhum, tentang ngitung portal. Beliau beri contoh portal dua kaki, ukuran ctc 4m. Salah satu hitungan yang beliau tuliskan dipapan tulis adalah: 4 x 4 = ... beliau berhenti, kemudian mengambil slide rule kecil beliau (ada yang masih ingat apa itu slide rule), geser-geser sebentar, dan kemudian beliau nulis kembali di papan tulis angka 15,9. Waktu itu, kami mahasiswa yang merasa sok pinter ketawa cekikitan (pelan pelan) sambil bisik bisik, hihihi dasar professor sudah tua, masa ngitung 4 x 4 aja perlu slide rule, sudah itu hasilnya salah
lagi. Hehehe betapa piciknya pikiran dan pemahaman kami waktu itu.
Belakangan saya baru sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Prof. Soemono adalah langkah yang tepat dari seorang enjinir yang berpengalaman dan mengerti konsep keterbatasn dan kendala lingkup dari tugas yang dihadapi. Well, bagi yang belum nyambung, 4 x 4 = 15,9 adalah yawaban yang dapat diterima dengan baik bagi enjinir yang harus bekerja dengan accepted concept, toleransi error 5%. Karena 5% dari 4 x 4 itu adalah 0,8. Jadi kalau jawaban 4 x 4 diambil sebagai 15,9, jelas jawabannya masih masuk dalam lingkup toleransi yang disepakati diterima dan digunakan sebagai acuan dalam pekerjaan yang sedang dikerjakan.

Nah itulah masalah utama yang ingin saya angkat. We are just engineers guys, yang tidak akan pernah bias tahu secara akurat apapun masalah lapangan yang ada. AT best kita hanya bisa memperkirakan dengan baik dalam batas toleransi yang disusun berdasarkan know how kita atas masalah dan lokasi di mana kita berada.

So the moral of the story is: Jangan terlalu takut, do your best berdasarkan know how yang kita punyai, tapi on the other hand, jangan at all time terlalu yakin dengan hitungan kita juga. Konsultasi ke rekan atau ahli (kalau perlu). Perlu langkah check and recheck, bukan saja terhadap hitungan kita, tetapi juga terhadap contoh contoh sekitar yang sudah ada, termasuk contoh contoh failure, kalau ada.

By the way, konsep 4 x 4 tadi jangan dibawa ke bank atau ke DPR ya, hehehe kita bisa ditangkap KPK kalau pakai konsep itu.

Oh iya bagi Kuya "muda" yang belum tahu apa itu slide rule, well cari tahulah, itu alat ngitung bentuknya seperti mistar yang kita pakai secara ekstensif sebelum ada calculator, yang antara lain dipakai untuk mendesain Golden Gate dan Empire State Buildings th 1930-an.

Best regards utk semua.


Tanggapan 5 - Franciscus Toha kuyasipil


Halo Mas Dradjat,
Rajin juga mencurahkan pandangannya.
Di dalam geoteknik, banyak in situ parameters penting untuk real projects  (bukan lab) seperti effective "cohesion", friction angle, undrained shear  strength, deformation parameters seperti compression indices, consolidation coefficients dll.., tidak akan bisa didapatkan denga standard
deviasi yang "layak" (misalnya di bawah 30 %).
Justru pemahaman yang mendalam atas perilaku tanahnya diperlukan sekali  untuk membuat interpretasi yang sehat, masuk akal, cukup aman dan masih bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini tidak akan bisa didapat tanpa melakukan pendalaman, baik melalui pendidikan formal dan/atau belajar sendiri.
Saya sering sekali "geli" melihat keyakinan yang berlebih2an atas hasil  analisis dengan piranti lunak yang canggih (PLAXIS misalnya, atau SAFE dan  sebangsanya) , padahal hasil yang didapat sebenarnya sangat peka terhadap  parameter tanah yang dimasukkan. Hampir selalu, tidak ada analisis lengkap yang mencakup "range" dari parametersnya, malahan yang paling sering saya lihat, karena terlalu ingin memuaskan (or to become impressive) Client, semua parameter dipepet ke arah batas kritis...ha. ..ha..ha. .
Hal ini terjadi vice versa, praktisi yang nggak ngerti soil mechanics, pake  program slope stability, LPile, Consol, Plaxis dll, dengan tingkat  confidence yang sama dengan yang biasa dia pakai di ETABS atau SAP  misalnya... Atau sebaliknya, seorang praktisi yang lebih menguasai soil mechanics, sama sekali tidak tahu dampak dari parametersnya terhadap analisis struktur terkait..
Barusan saja, saya selesai melakukan evaluasi atas sebuah bangunan tower dengan fondasi raft. Untuk mencegah distress pada structure akibat differential settlements, disediakan delayed pour strips selama sekian tahun. Kemudian gedung dianalsis dengan sisa differential settlement yang diprediksi akan terjadi setelah pour strip disambung. How can we be so sure, if the estimated settlements can be 50 % off and the rate of settlements may  be in order of maginitudes different from the predicted values?
Yang ideal tentunya bisa sangat menguasai dua-duanya secara komprehensif dan  mendalam. Yang kayak gini juaraaaang banget, tapi yang merasa bisa buaanyaakkk. ..ha..ha. .ha..
Jadi dalam kondisi normalnya, ya harus kerjasama dengan kordinasi yang baik lahhh...



Tanggapan 6 - Ary Tb kuyasipil


Kang Hendra, Pak Drajat & Pak Toha
hatur nuhun atas info2nya.


Tanggapan 7 - "Dradjat Hoedajanto"


Rekan Kuya semua yang saya hormati,
Hahaha Frans, what else old guys like us can do kalau tidak sharing  kekurangan ataupun kelebihan kita. Karena semua orang termasuk kita punya kekurangan dan kelebihan. Yang saya concern adalah untuk tetap komit  berusaha semaksimal mungkin menyampaikan amanah kita sebagai "the older  generation", yang kebetulan ikut menyaksikan dan mengalami perubahan  teknologi yang begitu cepat selama limapuluh tahun terakhir ini.
Satu perbedaan teknik sipil adalah dari jaman dulu kita selalu ditantang  oleh kondisi lapangan yang tidak pernah bias kita datakan dan modelkan secara akurat. Sejarah bangunan sejak jaman kuno menjadi guru kita yang tidak bias kita buang karena sekarang sudah bias pejet enter atau return dan hasil hitungan keluar, hahaha. Lihat Borobudur. Insinyurnya belajarnya  dari mana? Lihat karya Michel Angelo, dia "bukan engineer" dengan rumus dan formula super canggih, tapi seniman dengan visi dan rasa bathin yang halus yang bisa "menterjemahkan" contoh isi dunia sekitar menjadi karya karya  fenomenal. Lihat Menara Pisa yang kalau dilihat dan dihitung pakai Plaxis  digabung dengan sap2000 nonlinear pasti sudah ambruk.
Hem, siapa kita yang bisa bilang hasil analisis kita akurat ke enam angka dibelakang koma?
Saya masih ingat PR saya yang dikurangi nilainya 10% karena membawa kebiasaan menuliskan hasil beberapa angka sebanyak mungkin sesuai hasil yang  terlihat dikalkulator? Untuk kemudian diajari bahwa dalam teknik sipil,, perbedaan sampai 20% antara teori yang kita hitung dan kondisi lapangan  masih masuk dalam kondisi yang "bagus", untuk kemudian dilatih hanya concern  pada hasil akhir dengan 3 angka yang dignifikan?
Kelebihan kita praktisi sipil adalah kita diajarkan bahwa walau tidak semua  yang perlu kita ketahui betul betul kita ketahui dengan akurat, bahkan dalam kondisi keterbatasan data, kita harus bisa cari dan menyampaikan solusi yang  aman.
Well, enough said, saya kembali hanya ingin mengangkat, khususnya kalau  bicara masalah pondasi, Sebelum cari solusi angka, kita secara konseptual  harus sudah punya solusi konseptual dan dapat "membayangkan" perilaku serta  mekanik terjadinya flow of forces dan kondisi yang dipengaruhinya.
Masalah  stress beda dengan masalah stiffness dan seterusnya. Itu saja. Jangan  pernah merasa yakin super yakin tanpa didukung upaya untuk check and recheck  serta membandingkan dengan bangunan yang sudah sukses berdiri dan operasional. Semua harus kita pelajari dan datakan, bahkan khususnya  bangunan yang runtuh, di mana kita bisa belajar banyak mengapa dia runtuh, untuk mencegah hal yang serupa di masa depan.


Tanggapan 8 - "Hendra Jitno"


Pak Dradjat,
Nuhun atas kontribusi dan atas advice-nya buat adik2 kita di milis ini.

Ada satu yg saya agak kurang setuju pd email pak Dradjat di bawah ini:
"Lihat Menara Pisa yang kalau dilihat dan dihitung pakau plaxis digabung dengan sap2000 nonlinear pasti sudah ambruk."

Menurut hemat saya, Menara Pisa adalah contoh klasik kegagalan geoteknik, yg gagal meprediksi perbedaan settlement antara satu sisi dengan sisi lainnya..Lha jaman dulu mana ada soil mekanik..semua kan pake feeling..:-)..Cuma disini feeling only does not work..

Beberapa tahun yg lalu, kemiringan Menara Pisa dihitung sudah mencapai ambang dimana kalau meiringan ini terlampaui akan ada ketidak -seimbangan gaya yg cukup besar yg bisa mempercepat perbedaan penurunan antara sisi satu dengan sisi lainnya. Kalau sudah mencapai stress level tertentu, pertambahan penurunan tidak hanya diakibatkan oleh penurunan konsolidasi tapi juga oleh 'creep' (ie. Pertambahan deformasi pada beban tetap).
Dibutuhkan seorang Professor soil mechanic dari Berkeley utk turun kesana dan memperbaiki nya..sehingga kemiringannnya tetap langgeng..tidak bertambah..tapi tidak juga berkurang..
Bagian yang turunnya banyak digali sedikit dan bagian yag enggak turun di beri beban selama beberapa bulan sambil dimonitor perkembangannya. Tanpa perbaikan ini, Menara Pisa diperkirakan sudah ambruk sekarang ini akibat beda penurunan yg berlebihan yg mengakibatkan terlalu besarnya eksentrisitas.. Menurut saya, kalau saat itu ada PLAXIS3D atau FLAC3D, ada data stratigraphy tanah yg cukup, data parameter tanah yg cukup, plus ada engineer who really knows what he is doing (bukan cuman 'thinks he knows what he is doing..') , menghitung pondasi menara spt itu tidak lah sulit dan bisa diprediksi bahwa akan suatu pada jangka panjang akan miring..



Tanggapan 9 - Franciscus Toha kuyasipil


Pak Ary,
Di offshore, untuk piles, biasanya mereka menggunakan load transfer method, yang secara built ini, sudah mencakup capacity (nominal strength, isitilah kawan2 dari structure; ultimate istilah kawan2 geoteknik) dan stiffness (limit deformation dll); bahkan kalau canggih sekali ....sekalian group reduction factors, cyclic load softenning dll sudah bisa dimasukkan juga...
Selamat bekerja,



Tanggapan 10 - "Hendra Jitno"


Mas Ary,

Sekedar sedikit menambahkan dari penjelasan pak Toha dibawah ini.

Rumus2 empiris yg dipakai utk menghitung daya dukung tiang pancang pada tanah liat spt metoda alpha, metoda Lambda, diperoleh dari analisa-balik hasil2 test tiang pancang yg ditest sampai runtuh (mencapai penurunan tertentu).

Utk memobilisir kapasitas skin friction secara penuh, biasanya hanya dibutuhkan sekitar 5-10mm relative displaement antara tanah dengan pile, dan relative displaement ini tidak tergantung dari ukuran tiang pancang.
Sebaliknya utk memobilisir daya dukung ujung tiang, biasanya dibtuhkan penurunan sekitar 10-25% dari diamter tiang (D) tergantung tipe tanah. Tanah pasir lepas membutuhkan penurunan yg lebih besar dibanding tanah pasir padat. Jadi seringkali skin friction sudah termobilisir, tapi daya dukung ujung belum bekerja sama sekali.

Jadi, kalau kita menggunakan metoda ini, secara IMPLISIT kita meng-ASUMSI-kan bahwa tiang akan mengalami penurunan sebanyak 5-10mm utk memobisir daya dukung skin, dan harus bergerak sebanyak 10-25%D utk memobilisir daya dukung ujung.
Inilah yang harus kita sadari.  Utk offshore structure yg biasanya cukup robust (ie. tdk sensitif), penurunan spt ini tidak jadi masalah. Tapi utk struktur yg sensitif thd penurunan, mohon agar disadari oleh designer berapa penurunan yg dibutuhkan utk memobilisir daya dukung design tiang. Penurunan ini harus mampu ditolerir oleh struktur di atasnya.

Kembali ke pertanyaan mas Ary, grafik kurfa antara kedalaman dan kapasitas secara IMPLISIT menganggap kapasitas daya dukungnya akan tercapai, tapi BELUM secara eksplisit memberikan informasi berapa penurunan yg dibutuhkan utk memobilisir daya dukung tsb.

Kurfa ini juga tidak memuat informasi berapa penurunan jangka panjang yg akan terjadi akibat konsolidasi (kalau ada lapisan lempung di bawahnya) atau pada saat tegangan air pori akibat pemancangan terdisipasi. Ini tidak berhubungan langsung dengan kapasitas daya dukung tiang.

Tapi dengan adanya faktor keamanan yg biasanya cukup besar, relative displacement yg dibutuhkan utk mencapai working load tidaklah sebesar dari yg dibutuhkan utk mencapai daya dukung ultimit, sehingga dg demikian penurunan yg terjadi-pun kecil.

Pada prinsipnya, pada saat mendisain pondasi, ada 2 kriteria yg harus selalu diingat:
1. Daya dukung: berapa daya dukung yang dibutuhkan?
2. Penurunan/deformasi :
a. berapa penurunan/deformasi (jangka pendek) yg dibutuhkan utk mencapai/memobilisir daya dukung tsb?
b. berapa beda penurunan yg bisa terjadi akibat penurunan jangka pendek dan jangka panjang (konsolidasi, creep dll)?

Kalau daya dukung tercapai tapi mebutuhkan deformasi yg besar utk memobilisirnya dan supertruktur kewalahan menahan beda penurunan ini, ubah pondasi shg semua kriteria terpenuhi.

Analisis dengan FE method cukup membantu memperjelas masalah load transfer ini, selama yg melakukan analisis mengerti kekurangan2 piranti lunak dan asumsi yg dipakai.

Sejalan dengan advice dari pak Dradjat..think outside the box..check and always re-check, bandingkan dengan perilaku lapangan.

Semoga bermanfaat, 


Tanggapan 11 - helmy darjanto


Pak Ary

"Rumus2 empiris yg dipakai utk menghitung daya dukung tiang pancang pada tanah liat spt metoda alpha, metoda Lambda, diperoleh dari analisa-balik hasil2 test tiang pancang yg ditest sampai runtuh (mencapai penurunan tertentu)."

Pernyataan di atas (masukan dari kang Hendra) sangat penting jika kita akan merancang kuat dukung fondasi tiang dengan menggunakan metoda di atas.

Kuat dukung friksi yang diperkirakan dengan menggunakan metoda alfa sangat tergantung kepada ketelitian nilai kuat geser undrained Su dan koef. Alfa (range : 0.25 - 1.40). Penggunaan Su yang didasarkan atas analisa teg total untuk memperkirakan kuat dukung friksi tiang mempunyai kelemahan teoritis yang mendasar, yaitu:
1. Terjadi distorsi geser ... pada daerah yang relatif dekat .... sedikit di luar selimut tiang. Pada saat beban bekerja drainase dari atau ke daerah tipis ini akan terjadi dalam waktu yang relatif singkat,
2. Pelaksanaan fondasi tiang, baik pancang atau bor, tidak terhindarkan akan menimbulkan gangguan di sekitar tiang yang akan membuat hilangnya kohesi tanah (weak zone).
3. Nilai kuat geser undrained, Su, bukan merupakan nilai yang unik / satu nilai. Nilai Su ini antara lain dipengaruhi oleh efek orientasi dari benda uji atau faktor anisotropi atau sangat bergantung dari tipe pengujian tanah.

Sehingga penggunaan metoda alfa memang sangat empirik dan dibutuhkan analisa-balik hasil2 test tiang pancang yg ditest sampai runtuh (mencapai penurunan tertentu). Begitu pula dengan metoda lambda.

Comments

  1. kang Hendra,

    saya mau Tanya mengenai dynamic bearing capacity.
    Apakah dalam menganalisa pondasi mesin harus menghitung dynamic bearing capcity atau cukup dengan static bearing capacity?

    untuk dynamic bearing capacity untuk shallow foundation itu biasanya dihitung untuk pondasi yang mengalami beban dynamic apa saja kang? apakah termasuk beban dynamic akibat getaran mesin?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

DOWNLOAD BUKU: THE TRUTH IS OUT THERE KARYA CAHYO HARDO

  Buku ini adalah kumpulan kisah pengalaman seorang pekerja lapangan di bidang Migas Ditujukan untuk kawan-kawan para pekerja lapangan dan para sarjana teknik yang baru bertugas sebagai Insinyur Proses di lapangan. Pengantar Penulis Saya masih teringat ketika lulus dari jurusan Teknik Kimia dan langsung berhadapan dengan dunia nyata (pabrik minyak dan gas) dan tergagap-gagap dalam menghadapi problem di lapangan yang menuntut persyaratan dari seorang insinyur proses dalam memahami suatu permasalahan dengan cepat, dan terkadang butuh kecerdikan – yang sanggup menjembatani antara teori pendidikan tinggi dan dunia nyata (=dunia kerja). Semakin lama bekerja di front line operation – dalam hal troubleshooting – semakin memperkaya kita dalam memahami permasalahan-permasalahan proses berikutnya. Menurut hemat saya, masalah-masalah troubleshooting proses di lapangan seringkali adalah masalah yang sederhana, namun terkadang menjadi ruwet karena tidak tahu harus dari mana memulainya. Hal tersebut

Apa itu HSE ?

HSE adalah singkatan dari Health, Safety, Environment. HSE merupakan salah satu bagian dari manajemen sebuah perusahaan. Ada manejemen keuangan, manajemen sdm, dan juga ada Manajemen HSE. Di perusahaan, manajemen HSE biasanya dipimpin oleh seorang manajer HSE, yang bertugas untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan seluruh program HSE. Program  HSE disesuaikan dengan tingkat resiko dari masing-masing bidang pekerjaan. Misal HSE Konstruksi akan beda dengan HSE Pertambangan dan akan beda pula dengan HSE Migas . Pembahasan - Administrator Migas Bermula dari pertanyaan Sdr. Andri Jaswin (non-member) kepada Administrator Milis mengenai HSE. Saya jawab secara singkat kemudian di-cc-kan ke Moderator KBK HSE dan QMS untuk penjelasan yang lebih detail. Karena yang menjawab via japri adalah Moderator KBK, maka tentu sayang kalau dilewatkan oleh anggota milis semuanya. Untuk itu saya forward ke Milis Migas Indonesia. Selain itu, keanggotaan Sdr. Andry telah saya setujui sehingga disk

Penggunaan Hydrostatic Test & Pneumatic Test

Pneumatic test dengan udara (compressed air) bukan jaminan bahwa setelah test nggak ada uap air di internal pipa, kecuali dipasang air dryer dulu sebelum compressed air dipake untuk ngetest.. Supaya hasilnya lebih "kering", kami lebih memilih menggunakan N2 untuk pneumatic test.. Tanya - Cak Ipin  Yth rekan-rekan milis Saat ini saya bekerja di power plant project, ditempat saya bekerja ada kasus tentang pemilihan pressure test yang akan digunakan pada pipa Instrument, Pihak kontraktor hanya melakukan hydrostatic test sedangkan fluida yg akan digunakan saat beroperasi adalah udara dimana udara tersebut harus kering atau tidak boleh terkontaminasi dengan air, pertanyaan saya : 1. Apakah boleh dilakukan hydrostatic test pada Instrument air pipe?? 2. Jika memang pneumatic test berbahaya, berapa batasan pressure untuk pneumatic test yg diijinkan?? Mohon pencerahan dari para senior, terima kasih. Tanggapan 1 - Apriadi Bunga Cak Ipin, Sepanjang yang saya tahu, pneum